Tukin Dosen – Tunjangan Kinerja (Tukin) bagi dosen kini menjadi isu yang tak sekadar administratif, melainkan menyentuh akar persoalan: bagaimana negara memperlakukan kaum intelektualnya. Di atas kertas, tukin adalah bentuk penghargaan negara atas kinerja dan dedikasi para pendidik tinggi. Namun, dalam praktiknya, tukin sering kali menjelma menjadi alat legitimasi ketimpangan, sekaligus bentuk pelepasan tanggung jawab negara terhadap kualitas dan kesejahteraan pendidikan tinggi.
Para dosen diminta berlari cepat dengan beban administratif yang tak masuk akal, demi mendapatkan angka kinerja. Tetapi apakah negara peduli pada substansi kerja ilmiah yang dilakukan? Apakah proses mendidik, meneliti, dan mengabdi pada masyarakat cukup dihargai secara menyeluruh? Nyatanya, sistem tukin justru mendorong dosen untuk fokus pada target kuantitatif, bukan pada kualitas berpikir, inovasi, atau dampak slot bonus.
Standar Ganda dalam Dunia Akademik
Realitas di lapangan memunculkan ironi yang menyakitkan. Di satu sisi, negara menuntut dosen untuk menaikkan publikasi internasional, akreditasi prodi, hingga ranking kampus. Di sisi lain, fasilitas riset minim, birokrasi mempersulit, dan alokasi dana penelitian lebih sering lambat daripada cepat. Tukin pun bukan sekadar insentif, melainkan menjadi “carrot and stick” yang mengatur arah gerak athena168, layaknya karyawan korporasi.
Sementara itu, dosen non-PNS yang jumlahnya makin membengkak, sering kali tak tersentuh sistem tukin. Padahal mereka menjalankan beban kerja yang sama beratnya, bahkan kadang lebih—tanpa jaminan kesejahteraan yang memadai. Di sinilah kita melihat bagaimana negara secara perlahan menggeser perannya sebagai pelindung pendidikan tinggi menjadi sekadar operator teknokratis.
Dosen sebagai Buruh Pendidikan Tinggi
Model tukin ini menyeret dosen ke dalam pusaran industrialisasi kampus. Tak lagi sebagai intelektual bebas, dosen kini lebih mirip mahjong ways 2 yang harus memenuhi Key Performance Indicators (KPI). Waktu untuk berpikir, berdialog, dan berinovasi mulai tersingkir. Agenda mendalam dalam pengajaran pun kerap di korbankan demi mengejar skor kinerja.
Lebih dari itu, sistem tukin juga mengikis solidaritas akademik. Dosen saling bersaing, bukan berkolaborasi. Spirit keilmuan yang seharusnya tumbuh dalam semangat kolektif perlahan di ganti dengan semangat individualistik. Kampus menjadi mesin produksi angka, bukan lagi rumah gagasan dan kritik sosial.
Tanggung Jawab yang Di pindahkan
Lucunya, negara justru bersembunyi di balik jargon “kinerja” untuk melegitimasi pembiaran terhadap banyak persoalan pendidikan tinggi. Ketika dosen mengeluh soal beban kerja dan upah tak sepadan, jawabannya adalah: “Tingkatkan kinerja, nanti tukin-nya naik.” Ini bukan solusi, ini adalah bentuk pemindahan tanggung jawab sistemik menjadi tanggung jawab individu.
Maka yang terjadi bukan perbaikan struktural, melainkan pembebanan personal. Dosen yang kelelahan di anggap tidak adaptif. Yang bersuara kritis di cap tidak produktif. Sementara negara, tanpa malu, terus mendorong narasi “profesionalisme dosen” sembari memangkas situs slot dalam menjamin lingkungan akademik yang sehat dan bermartabat.
Mimpi yang Diubah Menjadi Tekanan
Dulu, menjadi dosen adalah panggilan intelektual. Kini, dengan sistem tukin yang di selewengkan dari maknanya, mimpi itu berubah menjadi tekanan. Para dosen tidak hanya di tuntut menjadi pendidik, tetapi juga harus jadi administrator, penulis massal, pemasar institusi, bahkan penjaga ranking kampus.
Pendidikan tinggi tidak bisa di tumbuhkan lewat sistem penilaian sempit. Tukin, dalam kerangka yang salah arah ini, justru menekan dan mereduksi eksistensi dosen sebagai agen perubahan. Negara, alih-alih hadir penuh dalam mendukung dunia akademik, justru perlahan melepaskan tanggung jawabnya, menyerahkan semuanya kepada mekanisme meritokrasi semu yang penuh jebakan.