Kurikulum Merdeka Masuk Fase Evaluasi – Kurikulum Merdeka yang sejak awal di luncurkan di gadang-gadang sebagai jawaban atas kebutuhan pembelajaran abad ke-21 akhirnya memasuki fase yang paling krusial: evaluasi nasional. Setelah di slot qris terapkan di berbagai satuan pendidikan selama lebih dari dua tahun, kini saatnya negara menguji apakah jargon “merdeka belajar” benar-benar membebaskan atau justru membingungkan.
Sejak di gulirkan, Kurikulum Merdeka menjanjikan fleksibilitas, pembelajaran kontekstual, hingga penguatan karakter. Tapi di lapangan, cerita para guru tak selalu semanis narasi yang di kampanyekan pemerintah. Ketika kebijakan ini mulai di saring dalam proses evaluasi nasional, suara-suara dari ruang kelas mulai menyeruak ke permukaan.
Awal Kurikulum Merdeka Masuk Fase Evaluasi Nasional Indonesia
Guru-guru dari berbagai pelosok Indonesia punya satu kesamaan: mereka merasa seperti kelinci percobaan. Dalam banyak testimoni, mereka mengaku kebingungan dengan arah kurikulum baru yang di sebut-sebut lebih humanis, tapi nyatanya menuntut banyak hal yang belum siap secara struktural.
“Kami di paksa kreatif, tapi tidak di beri alat,” ujar Lilis, seorang guru SD di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Ia menyebut bahwa modul ajar yang tersedia masih minim dan tidak selalu relevan dengan konteks lokal. Ia juga mengkritisi minimnya pelatihan guru yang membuat pelaksanaan kurikulum terasa “asal jadi”.
Baca Juga Berita Terbaik Lainnya Hanya Di man2manggarai.com
Sementara itu, di wilayah Jawa Barat, guru SMA bernama Dedi mengeluhkan beban administrasi yang justru bertambah. “Katanya Kurikulum Merdeka lebih sederhana, nyatanya kami justru harus bikin proyek profil pelajar Pancasila yang tak jelas ukurannya,” ungkapnya dengan nada frustrasi.
Proyek Profil Pelajar Pancasila: Gagasan Ideal yang Jadi Beban?
Salah satu elemen paling ambisius dari Kurikulum Merdeka adalah Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Pemerintah ingin menanamkan nilai-nilai luhur lewat kegiatan tematik dan kolaboratif. Tapi di lapangan, proyek ini justru menjadi sumber kebingungan, baik bagi guru maupun siswa.
“Kami tidak tahu harus menilai dari mana, apalagi menyusun proyek yang benar-benar menyentuh siswa,” kata Siti, guru SMP di Padang. Menurutnya, proyek-proyek yang di jalankan lebih sering menjadi formalitas tanpa dampak nyata. Ia menyebut bahwa banyak sekolah akhirnya menyulap proyek menjadi lomba atau presentasi kelas yang hanya berlangsung satu kali tanpa proses yang mendalam.
Digitalisasi Tanpa Infrastruktur? Realita di Sekolah Pinggiran
Narasi Kurikulum Merdeka sangat kuat dengan digitalisasi dan platform teknologi. Namun, guru-guru di daerah menjerit karena infrastruktur yang tak mendukung. Program-platform seperti Merdeka Mengajar hanya bisa di akses jika ada koneksi internet yang stabil sesuatu yang masih jadi kemewahan di banyak wilayah Indonesia timur.
“Kami harus naik ke bukit hanya untuk mengunduh modul atau video pelatihan,” keluh Rino, guru SD di Nusa Tenggara Timur. Ia menambahkan bahwa ketimpangan digital membuat kurikulum ini tidak adil sejak awal.
Antara Otonomi dan Ambiguitas: Guru Diminta Mandiri Tanpa Panduan Jelas
Kurikulum Merdeka menawarkan keleluasaan bagi guru untuk menentukan cara mengajar, materi, hingga metode penilaian. Namun, keleluasaan itu berubah jadi ambiguitas yang mematikan kreativitas. Banyak guru yang bingung karena tidak ada acuan standar yang jelas, sehingga takut salah langkah dalam implementasi.
“Ini seperti di suruh masak tanpa resep, hanya di beri bahan mentah,” kritik Wahyu, guru SD di Surabaya. Ia merasa bahwa otonomi yang di berikan malah jadi beban tambahan karena tanggung jawab sepenuhnya di bebankan ke guru tanpa dukungan sistemik yang memadai.
Evaluasi Nasional: Akankah Mendengar Suara Guru?
Kini ketika Kurikulum Merdeka masuk ke tahap evaluasi nasional, banyak guru bertanya-tanya: akankah suara mereka di dengar? Proses evaluasi ini di nilai menjadi momentum penting, tapi juga menimbulkan kecurigaan. Banyak guru merasa skeptis karena selama ini evaluasi seringkali hanya bersifat formalitas, tidak benar-benar menggali akar persoalan di lapangan.
“Kalau hanya mengumpulkan data dari kota besar, maka evaluasi ini hanya akan jadi drama nasional yang menyedihkan,” kritik Arief, guru di Kalimantan Barat.